Minggu, 06 Maret 2011

novel GEISHA (Bab 4)

“Geish, kamu beneran mau pindah sekolah?” “uhmm… iya, Ren...” “tapi Geish, kalo kamu udah pindah sekolah dan jauh dari kita, jangan lupain kita-kita ya?” “itu sih pasti, Del!” “hmph! Kok kita harus pisah ya?” Tanya Renata dengan nada sedih. “yaaah… semoga ini bukan perpisahan terakhir. Doain aja, semoga kita bisa ngumpul bareng lagi.” Jawabku. Dari kejauhan, seorang cewek berlari ke arahku. Sepertinya itu Dinda. Yup bener! Si Dinda tuh! “Geish, kata anak-anak, kamu mau pindah sekolah ya? Itu bo’ong kan?” pertanyaan yang sama datang lagi, namun kali ini dari Dinda. “iya, Din. Itu benar. Aku bakal pindah sekolah.” “ck!” wajah Dinda lemas seketika. “kenapa, Din?” tanyaku lagi. “persahabatan kita bakal musnah deh!” jawab Dinda dengan nada yang lebih lemas. “Lho? Kok kamu ngomong gitu?” Tanya Renata kebingungan. “Sebenarnya, aku juga bakal pindah dari sekolah ini.” Beneran, Din???” jawab Delia, Renata, dan aku serempak tak percaya. “iya.” “alasan kamu mau pindah sekolah apaan, Din?” Tanya Delia. “karena, papa aku harus pindah kantor di sebuah pulau terpencil. Ngga tau namanya pulau apa. Trus, mamaku juga, pengen ngumpul bareng orang tuanya di Jayapura. Aku ngga mau sekolah di Jayapura. Jadi, rencananya, mau pindah sekolah di Jombang aja. Daerah asal papaku. Disana, aku bakalan tinggal di rumah nenekku bersama om dan tanteku.” “terus, kok ngga tinggal sama nenekmu? Kan tinggalnya dirumah nenek kamu?” Tanyaku. “nenek aku udah meninggal.” “ups! Sori…” jawabku lagi. “Oh ya, Geish! Kamu pindahnya tanggal berapa? Kalo aku sih tanggal 6 bulan ini.” “hmm… kalo gak salah, tanggal 10 bulan ini juga.”
“Assalamu’alaikum! Ma, aku pulang…” sambil meletakkan sepatu sekolah di rak sepatu. “Wa’alaikumsalam… kok baru pulang, Fel?” jawab Mama. “ehmm… iya nih, ma. Tadi mampir dulu ke toko buku dulu sama temen-temen.” “ya udah, kamu langsung ganti baju sana gih! Abis itu temani mama ke rumah Tante Dewi.” “Tante Dewi? Siapa tuh, Ma? Ngapain kesana?” “Masa’ kamu lupa, sih? Itu lho, teman SMA mama yang dulu sering kesini. Lama banget gak ketemu dia. Mumpung kita belum pindah.” Aku berpikir sejenak. “Oh iya! Aku inget, ma! Yang dulu suka ngasihin aku roti keju, kan?” “iya. Ya udah, kamu siap-siap sana. 10 menit lagi kita berangkat!” “Oke, Ma! Tapi, Felis mandi dulu ya?” “iya deh. Tapi jangan lama-lama ya?” “siiip!”. Now, Take a bath!
“Yang mana sih, Ma rumahnya? Kok dari tadi ngga nyampek-nyampek?” “kurang lebih sekilo meter lagi.”
Bruuuk! Pintu mobil ku tutup. Sekarang, aku dan Mama berdiri tepat di depan pintu gerbang Tante Dewi. Rumahnya gede. Banyak tanaman mahal berjejer di halaman. Ada kandang kelincinya juga. Iiih! Lucu! Kelincinya gemuk-gemuk. “Permisi Bu! Mau cari siapa, ya?” Seorang satpam berbadan ceking menghampiri kami dan menanyakan siapa yang kami cari. “hmm… ini benar rumahnya Bu Dewi?” Tanya Mama kepada satpam ceking itu. Di dadanya terpampang jelas namanya WAHYU SETYOBUDI. “Iya benar. Ibu ingin bertemu dengan siapa,ya?” Tanya satpam yang bernama Wahyu itu kepada Mama. “Kami mau bertemu dengan Bu Dewi.” Jawab Mama. “Nama Ibu siapa, ya?” Tanya Wahyu lagi. “Nama saya Kumala.” Seorang satpam lagi datang menghampiri kami. Bodynya sama aja. Ceking. Aku baca nama di dadanya M. HASAN EFFENDI. Satpam yang satu ini wajahnya kaleeem banget! Yaaah, bisa di bilang cupu. Hehehe… “Ada apa, yu?” Tanya satpam yang bernama Hasan itu kepada Wahyu. “Ibu ini ingin ketemu dengan Nyonya Dewi. Saya bisa minta tolong? Tolong katakan kepada Nyonya Dewi, ada yang ingin bertemu.” Jawab Wahyu. “Oke!” jawab Hasan dengan santai. “Tunggu sebentar ya, Bu.” Kata Wahyu kepada Mama. “Iya.” Jawab Mama.
Tak lama kemudian, sesosok wanita berkepala 4 jalan menghampiri kami. Sepertinya itu yang namanya Tante Dewi. Gilaaa! Modis banget!
“Eh… Kumala! Ayo masuk! Kamu pasti udah lama ya nungguin disini. Ayo masuk!” kata Tante Dewi ramah. “Kamu masih muda ya, kelihatannya. Apa sih rahasianya?” Tanya Mama sambil berjalan menuju pintu rumah Tante Dewi. Aku membuntut dibelakang sambil terus melihati kelinci-kelinci gemuk yang lucu itu. Kami sampai di dalam. “Ayo silahkan duduk! Ini Felicia ya?” “Iya, Tante.” Jawabku. “Heh… kamu udah gede ya, Fel? Masih ingat kan sama Tante?” “Ya masihlah… Tante yang dulu suka ngasihin aku roti keju kan tiap main ke rumah?” “Iya. Kamu sekarang udah kelas berapa, Fel?” “Kelas sepuluh, Tan.” “Berarti kamu seumuran dengan anak Tante, dong?” “Oh ya? Anak Tante cewek atau cowok?” tanyaku penasaran. Aku belum pernah tahu siapa anak Tante Dewi. Maklum, anak Tante Dewi dari umur 2 tahun ikut tinggal bersama Kakek-neneknya di Surabaya. Usia 8 tahun, dia ikut bersama ibunya kembali. Karena, Kakek-neneknya meninggal. “Anak Tante, cowok, Fel.” “Oh… sekarang anaknya mana, Tan? Kok sepi?” “Hido lagi di kamar tuh! Pengen ketemu ya?” “Namanya Hido?” “Iya. Mau? Tante panggilin anaknya?” “uhmm… ngga usah, Tan! Jangan.” “Lho? Kenapa, Fel?” “Ngga papa, Tan. Takut ngenganggu.” “Biasa aja kali, Fel. Tante panggilin ya?” Tante Dewi langsung bangkit dan berjalan menuju sebuah pintu. Kelihatannya sih, itu kamar Hido. Tok, tok, tok, tok! “Hido! Keluar dulu bentar. Ada yang mau Mama kenalin, nih!” terdengar suara langkah malas dari dalamnya. Pintu pun dibuka. “Hido, ada yang mau Mama kenalin, nih!” “Siapa, Ma?” “Anak Tante Kumala.” “Tante Kumala? Siapa tuh, Ma?” “Temen SMA Mama. Cepetan gih kesana!” samar-samar aku melihat wajah cowok yang bernama Hido itu. Semakin dekat, semakin jelas terlihat wajahnya. Omigosh! Itu kan? Itu kan cowok yang waktu itu nyalip mobil Renata? Hah? Masa’ dia anaknya Tante Dewi? Semoga bukan! Semoga saja, dia cuman tukang kebun Tante Dewi. Dia mendekat! “Fel, ini lho anak tante yang namanya Hido. Hido, kenalkan! Namanya Felicia, dia anak Tante Kumala yang barusan Mama ceritain.” Kata Tante Dewi. “Hai, Fel! Aku Hido!” lho? Kok Hido gak marah-marah ya? Malah senyum ramah ke aku dan menawarkan telapak tangannya untuk bersaliman denganku. Sedikit grogi sih! Ragu-ragu, aku membalas salim tangannya. Tanganku dingin! Saking malunya! Pasti pipiku memerah! “ehmm… ehmm… Felis.” Jawabku grogi. “Kayaknya, kita pernah ketemu deh? Tapi dimana ya?” Tanya Hido ramah. “ehm? Kapan? Kayaknya ngga pernah deh?” jawabku berbohong. Sepertinya dia mengingat kejadian itu. tapi samar-samar. Semoga dia lupa! “Mungkin aku salah orang.” Jawab Hido. Huwaaa! Thank’s God! Slameeet! Slamet! “Hido, kamu ajak dia jalan, gih! Kayaknya Felis mulai keliatan bosan. Biar Mama juga bisa ngobrol-ngobrol dengan Tante Kumala.” Ucap Tante Dewi. “Iya, Ma. Tante Kumala, Felisnya Hido pinjem dulu ya?” kata Hido sambil senyum ke Mama. “hahaa… kamu kira Felis apaan, Do? Pake pinjem-pinjem segala?” kata Tante Dewi. “Boneka, Ma.” Canda Hido. Iiih! Nih anak ya? Kalo ngomong slalu ceplas-ceplos! Pake di bilang boneka segala! Aargh! Awas kamu ya! “Iya-iya… tapi hati-hati ya, Do!” pesan Mama. “Yuk Fel!”
Hido, cakep sih! Charming banget! Jadi, aku ngga takut kalo dibonceng balap sama dia. Iiih! Ngapain sih? Aku muji-muji dia? Anak super-duper nyebelin kayak gini ngga cocok dapet pujian! “Kita makan yuk!” ajak Hido. “Terserah kamu aja deh. Aku nurut.” “oke! Dimana ya enaknya? Oya! Disamping bioskop ya? Itu lho, warung lesehan. Ayam bakarnya ajib banget!” “aku nurut aja sama kamu, Do.”
“Ma, aku pulang!” teriak Hido. Aku membuntutinya dari belakang sambil melihati kelinci gemuknya yang lucu itu. “kamu suka kelinci, Fel?” tak sadar, Hido ternyata sedari tadi memperhatikanku. “I… i… iya. Aku suka banget sama kelinci!” jawabku grogi. “sama dong kalo gitu!” Sampai di ruang tamu, aku masih melihat Mama duduk santai bercerita dengan Tante Dewi. “Ma…” panggilku kepada Mama. “Eh… gimana jalan-jalannya, Fel?” Tanya Mama. “seru, Ma.” Sebenarnya sih, ngga ada serunya sama sekali. Yang ada malah grogi terus bawaannya. “Pulang sekarang ya, Fel?” pinta Mama. “Iya, Ma.” “Lho? Kok buru-buru sih?” kata Tante Dewi. “Sudah jam 5, Wi. Ntar si Fanish nyariin.” “Ya udah. Hati-hati ya? Semoga kita masih bisa bertemu kembali.” Jawab Tante Dewi. “Lho? Kok Mama ngomong gitu?” Tanya Hido. “Tanggal 10, Tante Kumala sekeluarga akan pindah keluar kota. Tepatnya di Tulung Agung.” “beneran, Ma?” “Iya.” “Yaaah… padahal, Hido baru aja kenal Felis sehari. Udah mau pisah.” Nada kecewa Hido kedengaran jelas banget. Keliatannya, Hido seneng banget bisa kenal sama aku. Hido berlari kecil keluar. “Fel, ikut aku yuk?” ajak Hido. “kemana?” “keluar bentar.” Hido mengajakku ke kandang kelinci miliknya. “Pilih yang mana?” “uhmm… ngga usah deh, Do.” “Lho, kenapa? Katanya kamu suka sama kelinci?” “suka sih. Tapi, ngga usah deh. Sayang kan? Kelincimu nanti tinggal dua.” “yaaah… ngga papa kali! Trima aja, untuk kenang-kenangan kalo nanti kamu pindah. Pliss! Diterima yah?” bujuk Hido. “uhmm… ya udah deh. Aku trima.” “Pilih yang mana?” “Terserah kamu mau ngasih yang mana.” “Yang belang itu ya? Itu kesayangan aku, lho?” “Jangan.” “Lho kenapa? Katanya kamu mau?” “iya, tapi jangan kesayangan kamu.” “ngga papa kali, kalo kelinci kesayanganku dibawa sama orang yang aku sayang dan cinta.” “maksud kamu?” “Maksudku, apa aja aku relain demi kamu!” “kok gitu, Do?” “iya. Karena aku… aku… aku suka kamu!” Hah? Baru kenal sebentar aja udah suka? Sumpah! Kaget banget aku! “Fel, kok diem?” Tanya Hido. “e… e… ngga papa kok!” “kamu ngga suka ya? Kalo aku punya rasa ke kamu?” “e… e…” aku pun terdiam. “Fel?” “eh iya! Kenapa, Do?” bodoh! Bodoh banget aku! Jelas-jelas tadi Hido ngomong suka ke aku. Aku malah berlaga ngga tau apa-apa. “Ngga jadi, deh! Lupa tadi mau ngomong apa.” Kelihatannya, Hido sedikit kecewa dengan sikap bodohku itu! “e… Do. Aku juga suka kamu kok!” Hido terlihat sumringah. “Tapi sebagai sahabat. Aku nganggep kamu seperti sahabat aku sendiri. Bahkan seperti kakak laki-laki.” Jangan sedih dong, Do! Ngga enak aku. “O… makasih ya? Udah anggap aku seperti saudara sendiri. Uhmm… kamu pilih kelinci yang mana?” sengaja Hido mengalihkan topik pembicaraan. “Yang belang aja deh. Ngga papa, kan?” sengaja aku pilih yang belang. Karena aku takut Hido tambah kecewa. “Ngga papa. Bentar ya? Aku ambilkan kandangnya.” Hido melangkah ke arah gudang. Hido kembali ke arahku. Dia langsung memasukkan kelinci belangnya kedalam kandang mungil yang tadi dibawanya dari gudang. Tapi sebelumnya, dia mengatakan sesuatu kepada kelinci belang kesayangannya. “Cici, kamu baik-baik ya disana. Jangan terlalu merepotkan Felis! Aku disini akan merindukanmu selalu.” Kelinci belang yang diberi nama cici pun dimasukkan kedalam kandang mungilnya. “Nih, Fel! Di jaga dan dirawat baik-baik ya?” “Iya, Do. Makasih ya?” “Iya. Kamu jangan lupa SMS-SMS aku ya?” “iya-iya. Siiip!” jawabku bersahabat. Dari kejauhan. “Masih lama ya, Fel?” teriak Mama.”Udah kok. Pulang yuk, Ma!” ucapku kepada Mama. “Do, aku pulang dulu ya?” pamitku kepada Hido. “Iya hati-hati, Fel. Jangan lupain aku ya?” “Pasti dong!” aku melangkah menuju Tante Dewi. “Tante, Felis pulang dulu ya?” “Iya, sayang. Hati-hati ya!” “Iya Tante.”
“Mama, dari mana aja sih? Kok jam segini baru pulang?” rengek Kak Fanish. “Mama abis dari rumah Tante Dewi.” jawab Mama. “Kok ngga bilang-bilang sih, Ma?” “gimana mau bilang? Orang dari tadi kamu Mama hubungin ngga nyambung-nyambung.” “Tadi tuh hape Fanish mati, Ma. Lowbat.” “Ya udah. Kamu udah makan, Nish?” “udah kok, Ma.” “Mama mandi dulu ya?” “iya.”
“Apaan tuh yang kamu bawa, Fel?” “Kelinci.” “darimana kelincinya?” “Dari Hido, anak Tante Dewi. Tadi di kasih buat kenang-kenangan.” “owh…” jawab Kak Fanish singkat. Mama berjalan ke arahku. “Fel, kamu udah tau belom? Ternyata, nama lengkapnya Hido itu EL HIDO SAFITRI lho?” “o… itu? aku udah tau kok, Ma.” “ Tapi, Hido itu selalu ngambek sama mamanya kalo inget nama lengkapnya itu. cewek banget soalnya. Tadi, kata Tante Dewi, Hido dikasih nama kayak gitu, karena dulu, waktu Tante Dewi lagi mengandung Hido, dia pengen banget anaknya nanti lahirnya cewek. Trus, pas di USG, hasilnya juga cewek. Tapi, pas Hido lahir, ternyata cowok. Tante Dewi sempat kecewa banget. Trus akhirnya, Hido di kasih nama yang ada unsur ceweknya deh!” aku pun tertawa terbahak-bahak karena mendengar cerita Mama tentang nama Hido. Lucu juga ya Tante Dewi… ckckck…

by : Aknes Melani Ayustin

novel GEISHA (Bab 3)

“Fel… Felis… Bangun sayang. Udah jam 6 nih. Ntar kamu telat lagi.” Suara merdu (merusak dunia) itu terdengar begitu bising dan rasanya pengen ngelempar remot tv ku ke arah sumber suara itu berasal. “Felis! Cepetan bangun! Minggu ini kan giliran Renata bawa mobil. Kamu tahu sendiri kan? Renata itu anaknya terlalu disiplin. Kayaknya, 15 menit lagi dia bakalan nglakson-nglakson mobilnya sebanyak seribu kali deh kalo kamu belom siap.” “Oh ya? Emang ini hari apa?” tanyaku sambil mengucek kedua mataku. “Hey! Kamu kalo mau jadi adik aku, jangan kelewat bodoh deh! Ini hari Jumat, Fel! Ayo cepetan bangun…” “Eh! Siapa juga yang mau jadi adik dari ‘Fanisha Oktadiandary’? Yang ada malah kak Fanish yang kesenangan karena aku jadi adik kak Fanish.” Bantahku sambil duduk dari posisi tidurku. “Heh… enak aja kamu bilang aku senang punya adik yang cerewet, jelek, egois, pemalas, dll, dsb, dst. Aku menderita banget punya adik kayak kamu!” “Aku juga menderita banget punya kakak yang hobinya tiap hari cuman ngegosiiiiip mulu! Nggak bosan apa, ngomongin orang mulu?” jawabku nggak mau ngalah. “Idih! Daripada kamu, hobinya cuman berkhayal mulu! Nggak ada gunanya sama sekali! Punya hobi yang kerenan dikit dong… kayak aku nih. Sudah pasti diterima kalo misalnya aku daftar diaudisi pemilhan presenter espresso di antv.” Jawab kak Fanish dengan bangga sambil menepukkan tangannya pada dada. “Geish! Kita udah siap nih! Ayo turun!” Omigosh! Itu kan suara Renata! Huuuaaa!! Gara-gara siKakak bawel ini, aku bisa di tinggal sama mereka. Cepat-cepat aku melompat dari atas tempat tidurku dan mandi dengan buru-buru hingga sisa pasta gigi masih ada yang menempel dipipiku. Dengan senyum kemenangan, Kak Fanish meledekku. “Hahaaa… Mampus kamu, Fel! Tadi kan udah kakak bilangin kalo hari ini jadwal Renata bawa mobil?” “Udah deh kak! Diem bentar aja bisa nggak sih?” Jawabku dengan nada kesal dan berkesan cuek. “Nggak bisa deh, kayaknya! Hahaa…” Ledek Kak Fanisha. Huuuh! Kenapa sih? Aku dapet kakak yang nyebelin banget kayak gitu? Sebel deh! Nyesel banget udah jadi adiknya. Tin… Tin… Tin… “Geish! Lama banget sih! Ntar kita tinggal lho.” Teriak Delia. “Iya-iya bentar. Dikit lagi selesai kok! Ni lagi pake sepatu. Aku jangan di tinggal yah?” Teriakku dari jendela kamarku. Secepat kilat aku berlari dari kamarku. “Fel, nggak sarapan dulu?” Tanya mama. “Nggak usah, ma. Ntar Felis sarapan disekolah aja. Dadah ma, pa… Assalamu’alaikum…” jawabku sambil berlari terbirit-birit. “Maaf agak telat hari ini. Soalnya semalaman aku capek banget sepulang dari konser. Maaf yah? Yah? Yah? Yah?”, Rengekku pada ketiga sahabatku sambil mengedip-ngedipkan kedua mataku. “What? Kamu bilang apa barusan? Agak telat? Ya ampun, Geish! Ini sih namanya bukan agak lagi. Tapi… uhmm… tapi… tapi… tapi aku mau ngomong apa ya? Hehe… Lupa!” ceramah Dinda sambil cengengesan sendiri. Haduh! Nih anak udah parah banget penyakitnya! Sumpah deh. siDinda otaknya pasti udah miring sebesar 1800 . Busyet dah! “Lupa! Lupa-lupa-lupa-lupa, lupa lagi kata nya… hedeh! Din, kamu makannya apaan sih? Batu? Pasir? Atau besi tua yang bisa buat otakmu jadi tumpul kayak gitu. Payah!” omel Delia. “Sudah, sudah! Nggak usah banyak omong lagi deh. Telingaku sakit nih denger suara merdu kalian! Apalagi Delia tuh, udah suaranya cempreng, pakek nyanyi segala lagi. Masih pagi, Del. Nggak usah nyanyi dulu. Ntar yang ada, dunia terbelah dua gara-gara saking merdunya suaramu.” Omelku karena sebel banget sama 2 anak itu (Delia sama Dinda). Tapi, meskipun aku sebel banget sama mereka karena tiap hari kerjanya berantem mulu kayak ‘Tom and Jerry’, aku sayang banget kok sama mereka. Bagi aku, apalah arti hidup ini tanpa diisi dengan hal-hal baik bersama sahabat? Ciiiiiiitt!!! Haduh! Kepalaku sakit banget! Kebentur kepala Renata didepanku. Nyaris Renata menabrak seorang cowok yang sedang menyalip mobil kita. Dilihat dari seragamnya sih, dia anak SMA N 1 PELITA BANGSA. Busyet dah! Cowok itu jatuh dari motornya. Serentak, aku langsung turun dari mobil dan rencananya ingin menolong cowok itu. tapi, ketika aku baru turun dari mobil, cowok itu malah marah-marah ke aku. “heh! Kamu bisa nggak sih bawa mobil dengan baik? Lihat nih, sikuku lecet, bajuku kotor! Tapi, untungnya motorku nggak kenapa-napa!” bentak cowok itu padaku. Aku merasa suhu tubuhku langsung naik hingga 450C. Dan merasa ada dua tanduk panjang yang keluar dari kepalaku. Spontan aku berbalik membentaknya. “enak aja bentak-bentakin aku sembarangan! Ini semua bukan salah mobil aku tau! Salah kamu sendiri, kenapa pake nyalip-nyalip mobilku segala? Mampus! Sikumu lecet! Kenapa nggak sekalian aja sobek? Nyadar dong! Kalo kamu sendiri yang salah. Malah nyalahin aku yang jelas-jelas nggak salah sama sekali. Kalo mau marah, pikir-pikir dulu. Jangan asal nyerocos aja sembarangan.” Bentak aku dengan nada marah. Ketiga sahabatku langsung keluar begitu melihat aku marahin sicowok yang nggak punya otak itu. Iiiiiiiiihh!! Nyebelin banget sih nih cowok! Aku lihat bed namanya yang terpampang diseragamnya itu dan membacanya keras-keras “EL HIDO SAFITRI. Hah? EL HIDO SAFITRI? Hahaaaa… hey! Kamu cewek ya? Nama kamu bagus juga.” Ledekku. “hahaaa!!!” Ketiga sahabatku ikut tertawa begitu membaca nama yang terpampang jelas diseragam cowok aneh itu. “iya! Nama kamu bagus juga ya? EL HIDO SAFITRI. Hai Fitri… sekolah kamu di SMA N 1 PELITA BANGSA ya? Uhmm… kelas berapa? Udah punya cowok, belum? Kenalan dong… hahaaa!!!” gila, Delia berani banget tuh! Hebat banget Delia! Ngeledek cowok yang barusan marah-marah sama kita. “huuussh! Kalian nggak boleh kayak gitu. Terserah dia mau bilang kita apa. Yang penting kan, dia nggak kenapa-napa.” Ih! Renata! Tadi kan jelas-jelas dia udah marah-marah ke aku? Kok malah dibelain sih? Gini deh nggak enaknya punya temen yang sifatnya dewasa banget. Huuufth! Sebel! “ciilee.. Renata ngebelain siCowok aneh itu didepan sahabatnya sendiri. Suit, suit…” goda Dinda kepada Renata. “Udah deh! Nggak usah banyak bicara! Pokoknya kalian semua mesti ganti rugi ke aku untuk ngobatin luka ini.” Kata cowok aneh itu sambil menunjuk tangannya yang yang cuman lecet itu. “nggak mau! Cuma luka gores aja minta ganti rugi. Nggak ah!” jawabku menolak. “Udahlah Geish, kita kasih aja dia uang ganti rugi. Biar dia cepat pergi. Kalo kalian nggak mau, biar aku yang ganti rugi aja. Udah jam berapa sekarang, Del?” kata Renata sambil merogoh isi dompetnya. “Busyet!!! Jam 7.03!!! kita udah telat 3 menit nih!” kata Delia sambil melotot ke arah jam tangannya. “Haaahh?? Telat???” Jawab aku, Renata, dan Dinda serempak. “ayo buruan kita berangkat!!! Nih semua gara-gara siCowok aneh itu!!!” sindirku ke anak cowok aneh itu. “Huussh!!!” bentak Renata sambil memelototi aku. Hehe… peace…
“Pak Paryo! Pliss pak! Bukain gerbangnya dong… kita kan cuman telat 5 menit… bukain dong pak… bapak kan cakep… kita janji deh, ntar pulang sekolah, kita traktir bapak di warung bakso Bu Wati. Bukain ya, Pak?” rayuku kepada Pak Paryo, guru piket hari ini. Guru yang satu ini, hobinya memang makan. Jadi, cukup diberi iming-iming makanan, beliau pasti menurut. “Tapi, kalian janji ya?” Tanya Pak Paryo. “Oke-oke… asal kan bapak bukain pintu gerbangnya dulu.” Jawabku. Pak Paryo langsung bangkit dari tempat duduknya dan membukakan pintu gerbang untuk kami. Fuuiiiih!!! Thanks God! “makasih, Pak!” kata Renata pada Pak Paryo. Kami berempat berlari menuju kelas. Seperti sedang dikejar anjing. Tapi, begitu sampai didepan kelas, aku tidak melihat ada guru di kelas. Uhmm… sepertinya, Bu Wina guru matematika tergalak se alam semesta nggak ada deh. “Gan! Ganish!”aku memanggil Ganish dan ia berbalik padaku. “Bu Wina mana? Tumben jam segini belum datang?” tanyaku pada Ganish. “Oh Bu Wina? Tadi orangnya sempat kesini sebentar. Katanya, adiknya mau melahirkan. Makanya beliau ijin pulang kekepala sekolah. Bu Wina kesini cuman ngasih tugas aja.” Jawab Ganish dengan santai. “uhmm… tugasnya mana?” tanyaku. “Tugasnya ada di buku paket halaman 97. Tapi, cuman disuruh ngerjain 5 nomor aja. Nomor 3 sampai 7.” “Oh, thanks ya?” “Geish, kok tumben hari ini kamu telat?” “iya nih. Soalnya tadi di jalan ada cowok dari SMA N 1 PELITA BANGSA nyalip mobil kita. Trus, dianya jatuh. Pas aku mau nolongin, eh dianya malah marah-marah ke aku dan minta ganti rugi! Padahal cuman luka gores aja! Iiiih!!! Nyebelin banget tau, nggak!” “hahaa… kamu kalo lagi marah lucu juga ya? Kayak anak kecil yang nggak dituruti permintaannya, trus ngambek deh.” Ganish mencubit pipiku dengan gemes banget. Adoou! Nggak tahu apa kalo sakit? “Iiiih Ganish! Sakit tahu! Liat aja ntar, aku akan balas dendam kekamu!” “Masa sih?” ledek Ganish. “halah! Whatever you say, I still won do it!” balasku dengan jengkel dan pergi meninggalkan bangku Ganish.
Yes! Akhirnya bel juga! Tapi, aku nggak bisa langsung pulang. Kan tadi punya janji ke Pak Paryo kalo mau nraktirin makan bakso di warung bakso Bu Wati. “Galz, kita punya janji nih sama Pak Paryo.” Ucapku mengingatkan ketiga sahabatku. “Janji apaan?” ya ampun Dinda! Kamu kumat lagi ya? “yaaa…. Janji nraktirin Pak Paryo buat makan bakso di warung Bu Wati. Masa kamu lupa sih?” jawabku dengan nada gregetan. Pengen banget nge-jewer telinga Dinda. “Oh iya-ya… sori, sori, aku lupa.”
Diperjalanan sepulang dari warung Bu Wati, kita dengerin radio Perkasa. Gila! Yang nyiar siTomy. Rasa capekku hilang seketika mendengar suara Tomy. Tomy oh Tomy… “Del, tadi kamu habis berapa mangkuk?” tanyaku. “sial! Gara-gara aku takut duit kita nggak cukup, aku cuman makan se-mangkuk aja deh! Gara-gara Pak Paryo sih! Pesan bakso 3 mangkuk plus es campurnya 2 gelas. Liat nih, dompetku menipis. Sebeeeel!!!” busyet! Wajah Delia merah banget! Kayaknya dia beneran sebel deh sama ulah Pak Paryo. Bener-bener kebangetan Pak Paryo! Dompetku juga menipis nih. Dasar perut tangki!

by : Aknes Melani Ayustin

novel GEISHA (Bab 2)

“Geish, jadi kan? Please ya, please, please, please!! mau ya? Okelah kalo begitu… haha… ayo kita berangkaaat!!” ceriwis Dinda tanpa menunggu jawaban dariku. “Din, jalannya pelan dikit dong! tali sepatu aku copot nih!” tanpa memerdulikan Dinda, aku berhenti sejenak untuk mengikat tali sepatuku. “Geish! Kamu jadi cewek lemot banget sih! Ayolah Geish! Ntar kita nggak kebagian tempat lagi.” “Iya-iya. Sabaran dikit kenapa sih? Lagian juga masih jam 2 kan? Mana mungkin kita ngga kebagian tempat. Konsernya aja dimulai jam 4, Din! Jam 4! Bayangkan, kita masih punya waktu 2 jam lagi. Waktu yang lama kan?” omelku. “Yah terserah kamu aja deh!” Dinda pasrah. “Uhmm… By the way, Renata sama Delia mana?” tanyaku sambil menyusul langkah Dinda. Dinda menepuk dahinya yang-mungkin-dia-habis-melakukan-sesuatu-dan-lupa-apa-yang-habis-dilakukannya-itu. “S**t!!! Aku lupa, Geish! Tadi, sebelum aku nemuin kamu, aku sempat nemenin Renata ke toilet bentar. Terus, daripada kelamaan nungguin Renata, mendingan aku dandan aja dulu. Nah, waktu aku nyari sisirku, aku baru ingat kalo sisirku itu dipinjem sama siDelia waktu selesai jam olahraga tadi dan belum dibalikin. Makanya, abis itu aku ninggalin Renata sendirian di toilet dan pergi mencari Delia. Tapi, Delianya udah take duluan, katanya anak-anak sih, Delia ada latihan silat gitu. Ya udah aku nyariin kamu. Kalo gitu, aku nyari siRenata dulu, yaaa? Kamu tunggu disini aja dulu. Ntar aku balik lagi kesini.” Ujar Dinda.
Dinda emang anak yang bisa dibilang punya penyakit lupa yang nggak menentu kumatnya. Tapi, kalo dilihat-lihat akhir-akhir ini, hubungan Dinda sama Keny kurang dekat. Akhir-akhir ini mereka jarang kelihatan lagi berduaan. Mungkin, mereka lagi ada masalah. Yah, maklum aja, secara Keny anak yang bisa dibilang tampangnya diatas sempurna. Sering Dinda dilabrak sama mantan-mantannya Keny. Kebanyakan sih mantan Keny masih suka harap-harapin Keny untuk balikan lagi sama mereka. Tapi, kalo diperhatiin, Kenynya malah menganggap mereka sebagai teman biasa yang nggak berarti sama sekali.
“Geisha, kamu ngapain ngelamun sendirian disini? Mikirin aku, ya? Tenang aja, aku akan selalu ada disisimu kapanpun kamu mau.” Serentak aku kaget banget liat Ogy tiba-tiba muncul disampingku. Ogy, teman sekelas aku yang satu ini emang paling hobi nge-lucu dengan bahasanya yang terlalu puitis. Yah, maklum Ayah Ogy adalah seorang pengarang novel terkenal se-Asia. Waow! Bayangkan! Se-Asia! Bangga banget punya teman se-kelas yang ayahnya terkenal se-Asia. “Tuh kan… ngelamun lagi. Hobimu tiap hari ngelamuuuun mulu! Nggak ada hobi yang kerenan dikit, apa? Hehe… Just kidding…” Celoteh Ogy sambil menunjukkan angka dua dengan jari tangannya. “Geish, ayo berangkat. Renatanya udah ketemu nih.” Ajak Dinda yang datang tiba-tiba dengan membawa Renata yang membuntuti dari belakang. “Ren, Delia beneran nggak jadi ikut?” tanyaku. “Katanya sih gitu, mau ikut latihan silat.” “Ayooooo berangkaaat!!!!” teriak Dinda. “Yuk Ren, mulut Dinda sudah mulai komat-kamit tuh.” Ajakku pada Renata. “Pada mau kemana nih?” Tanya Ogy penuh penasaran. “Nonton Konsernya kakak Geisha. Daaah!” jawab Renata kepada Ogy. “Hey! Kakak Geisha (Geisha Band) manggung dimana? Aku ikutan dong!” Tak sempat Ogy mendapat jawaban dari pertanyaannya, Dinda sudah tancap gas duluan. Dari jauh aku lihat Ogy melambai-lambaikan tangannya dengan penuh harapan kami berbalik kembali dan mengajaknya. Tapi, nggak mungkin deh, secara dia cowok.
“Udah jam segini kok belum mulai-mulai juga ya, konsernya?” Renata terus melihat arah jam tangannya sambil memakan terus bakpaonya yang barusan dibeli di dekat tempat kita parkir hingga mulutnya penuh dengan makanan. Pipinya tambah tembem. Hihi, lucu! Sekilas aku melihat Ganish, ketua kelasku sedang berjalan kearah sini sambil membawa sebotol Pepsi Blue yang tinggal separo. Yep! Bener tuh! SiGanish kearah tempat aku berdiri. Eits! Dia sama siapa tuh? Bram? Omigosh, omigosh! Air mataku mau jatuh begitu lihat Bram. Bram itu adik kelasku yang wajahnya serta postur tubuhnya mirip banget sama Alm. Chiko, mantanku. Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Renata melihat aku akan menangis melihat Bram datang kemari. Serentak Renata mengajakku pergi dari tempat ini dan menyuruh Dinda untuk membatalkan niat Ganish untuk bertemu denganku. Hanya sedikit air mata yang kuteteskan setelah menghindari Bram. “Haduuh… Geish, tahan ya… aku tahu setelah kepergian Chiko, Ganish selalu saja ingin nge-dapetin kamu. Tapi, kamu udah siap mencari yang lain selain Chiko?” ujar Renata sambil membelai rambutku dengan sifat kedewasaannya itu. “Jujur Ren, aku belum siap untuk pacaran lagi. Tapi, nggak tahu kenapa, tiba-tiba aku selalu ingin berada didekat Ganish. Tadinya tuh, aku udah seneng banget Ganish mau menghampiri kita. Aku rasa…” kata-kataku tiba-tiba terpotong setelah mendengar suara teriakan Dinda. “Geish! Ren! Ayo cepatan kesini!” Dengan rasa penasaran, aku dan Renata berjalan cepat kearah Dinda. “Ada apaan sih, Din?” tanyaku. “Kata orang-orang, Geishanya udah datang! Ayo kita ambil tempat duluan didepan panggung. Ayo cepetan!” Dinda menarik tanganku dan Renata dengan paksa.
Pulang dari konser, aku langsung mandi dan membanting diriku dikasur. Fuiiih! Capek banget rasanya! Tulang kakiku seakan mau patah! Pengennya sih Online dulu di facebook. Tapi, mataku sudah nggak tahan lagi untuk melek. Aku menyalakan televisi sebentar untuk menahan rasa kantukku agar bisa online di facebook. Tapi, setelah menunggu iklan-iklan yang ditampilkan sebelum film dimulai, aku seperti sudah tidak bisa menahan mataku lagi. Dan akhirnya, aku tertidur.

by : Aknes Melani Ayustin

novel GEISHA (Bab 1)

Namaku Felicia. Tapi, nama indah itu jarang digunakan oleh orang-orang untuk memanggilku. Lebih seringnya mereka memanggilku dengan sebutan Geisha. Geisha? Kau tahu mengapa? Sebab, wajahku yang dilengkapi oleh bibir merah yang tipis, bulu mata lentik, hidung bangir, serta rambut panjang dan lurus yang sedikit melebihi bahuku ditambah poni datar yang lagi ngetren dijaman sekarang, membuatku dipanggil Geisha. Semua ciri fisik yang kumiliki, tak jauh berbeda dengan penyanyi yang membawakan lagu “Jika Cinta Dia”. Yah begitulah. Geisha memang sedang naik daun. Penyanyi terkenal itu memang manis. Ditambah lagi dengan suara merdunya itu. Aku juga senang mendengarkan lagu-lagu Geisha. Oh ya, kembali keperkenalan. Selain senang karena dianugerahi fisik yang tak jauh beda dengan Geisha, aku juga diberi tiga orang sahabat terbaik yang paling kusayangi. Mereka adalah :
Dinda, sahabatku yang satu ini termasuk Playgirl, lho! Secara fisik, dia cantik, berkulit kuning langsat, dan memiliki mata indah berwarna coklat. Sifat dia yang kami suka adalah dia selalu mau mengalah pada siapa pun. Dinda memang punya segalanya. Termasuk cowok yang selalu setia dan selalu ada untuknya. Sudah hampir setahun ini mereka berpacaran. Padahal, paling lama Dinda berpacaran hanya sampai 2 bulan. Pacar Dinda bernama Keny. Menurutku, kali ini Dinda gak salah pilih memilih Keny. Keny gak terlalu melarang Dinda untuk bergaul dengan anak cowok lain. Keny juga deket kok sama kami. Keny menganggap kalau kami emang enak diajak bergaul.
Renata, cewek yang satu ini, banyak yang menginginkannya. Padahal, Renata berciri fisik gendut, tinggi, berkulit coklat, rambutnya keriting, dan jidatnya jenong. Renata memang kurang suka berdandan. Tapi, entah kenapa banyak yang naksir padanya. Bagiku, Renata selalu bersikap dewasa dan tak ragu untuk mau membantu teman yang sedang kesusahan. Renata memang mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Sehingga, mungkin karena sifatnya yang mungkin jarang kita temukan, banyak cowok yang naksir padanya. Tapi, selama ini tak ada yang berani menjadikan Renata untuk jadi pacarnya. Alasannya, gengsi lah, gak ada waktu lah, pokoknya selalu ada alasan yang gak jelas. Alhasil, sampai sekarang Renata belum pernah merasakan indahnya pacaran.
Delia, ini dia, teman kita yang paling gokil. Tanpa Delia sepi menghantui kita. Delia memang cantik dan punya bodi yang bagus. Cocok tuh jadi model. Tapi, sayang seribu sayang. Delia termasuk golongan cewek yang katrok abis. Kuper. Padahal tuh, kalau dia mau mengubah sifat dan sikap katroknya itu, seribu cowok pasti ngantri untuk jadi pacarnya.
Memang Tuhan terlalu sayang kepada kita. Sampai-sampai aku diberi banyak anugerah yang mungkin tak sedikit orang iri padaku. Setiap hari, kami berempat selalu berangkat bareng kesekolah dengan mengendarai mobil Dinda. Tapi, ada jadwalnya, lho. Misalnya minggu ini Dinda yang membawa mobil, minggu depannya giliran Renata yang membawa mobil. Setelah Renata, aku. Setelah aku, Delia. Dan seterusnya. Sekolah kami tepatnya berada sekitar 1,5 km dari rumah kami. Dan kami memang bertetangga. Sekolah kami merupakan sekolah SBI yang menggunakan laptop. Bukan memakai buku dan alat tulis lainnya lagi Kami selalu kompak. Karenanya, kami bisa terus sekelas bersama Kami berempat kelas XI-IPA. Sekolah kami bernama SMA N 1 MERDEKA. Tak jarang sekolah kami memborong piala olimpiade se-Nasional. Pernah beberapa kali sekolah kami mendapat juara olimpiade sains se-Asia Tenggara. Hebat, bukan?
Disekolah itulah aku bisa sedikit menghilangkan rasa sakit kehilangan kekasih. Sebut saja Chiko. Banyak cewek yang iri karena akulah pilihan Chiko. Karena, secara fisik, Chiko tampan, tinggi, putih, cool, dan dia juga adalah model busana. Chiko adalah cinta pertamaku yang mungkin sangat susah untuk dilupakan. Dia telah pergi jauh. Beberapa bulan yang lalu, tepat pada tanggal 13 Februari, dia meninggal dunia karena kanker otak yang terus menggerogotinya. Banyak yang belum mengetahui tentang penyakit yang dideritanya itu. Dia memang sengaja menutupinya. Karena takut kehilangan perannya sebagai model peraga busana. Selama dia masih ada, aku tak pernah absen untuk mendampingi hidupnya. Aku sangat sayang dan tak ingin kehilangannya. Apalagi, esoknya setelah kepergiannya untuk selamanya adalah hari valentine. Aku rayakan Valentine hanya dengan 3 sahabat terbaikku. Waktu aku mendengar kabar kematiannya, hampir saja aku melakukan aksi bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 3 gedung sekolahku. Aku merasa tiada arti untuk melanjutkan hidup. Karena, Cuma Chiko lah yang bisa memberiku hidup indah. Tapi, untungnya aku masih mempunyai tiga orang sahabat yang sangat sayang dan selalu ada untukku. Mereka terus meyakinkanku, bahwa masih ada mereka bertiga yang gak akan ninggalin aku. Dan aku sadar. Bahwa aku masih punya segalanya yang terindah dibumi ini. Akhirnya, aku pun menggagalkan aksi bunuh diri itu.
Aku merasa diberi kehidupan adalah hal penting sekaligus kado terindah dari Tuhan untukku. Karena, masih banyak cinta yang akan datang dalam hidup kita, meskipun satu cinta telah hilang, tapi, Tuhan akan menggantinya dengan seribu cinta untukku.

by : Aknes Melani Ayustin

bimbang tanpa sahabat

“Randre, Charlie, Randre, Charlie, Randre..... ah…… bimbang!!” lamun shaquintha.
Shaquintha namaku, hidup ku selalu dipenuhi kebimbangan setelah kematian sahabat karibku, sebut saja Bianca. Bianca meninggal dengan cara yang tragis. Setahun yang lalu, dengan menggunakan sepeda motor kepunyaan Bianca, kami pulang sekolah bersama. Ketika melewati perlintasan rel kereta api, tiba-tiba sepeda motor yang kami tumpangi mogok dan mesinnya tak mau nyala. Seketika alarm tanda kereta api akan melewati perlintasan itu berbunyi, kami pun segera menyelamatkan diri kami masing-masing. Aku pun berhasil menyelamatkan diriku. Tetapi, naas, kaki Bianca tersandung rel dan jatuh. Ia sempat berteriak untuk meminta tolong, aku ingin menolongnya, tetapi orang-orang yang berada disekitar lokasi menahanku karena kereta api semakin dekat. Dan, “Bianca!!!” teriakku ketika menyaksikan tubuh Bianca terlindas kereta api. Bianca tewas dengan tubuh hancur… Keluarga Bianca histeris ketika mendengar berita itu. Sejak kematian Bianca, aku bingung harus curhat kepada siapa, menceritakan seluruh isi hatiku hanya kepada sahabat. Karena hanya sahabat yang bisa mengerti apa yang sedang dirasakan oleh kita.
Aku sedang dilanda kebimbangan. Karena, ada dua orang cowok yang mengejar cintaku. Randre dan Charlie. Randre, anak kelas XI IPA yang gayanya cool abis. Banyak cewek yang berharap cintanya. Banyak juga cewek yang sakit hati karena ditolaknya. Charlie, teman sebangku Randre yang alim tapi tetap cool. Tak banyak cewek yang mengejarnya karena kealimannya.
Aku menginginkan kekasih yang cool, cakep, pinter (ilmu dunia maupun ilmu akhirat), mencintai aku apa adanya… Menurutku Randre hamper memenuhi kriteriaku tapi, soal ilmu akhirat, kurang. Kalo Charlie, pinter kedua ilmu itu, tapi tampangnya standar banget.
Oh Tuhan, kirimkan aku sahabat seperti Bianca, yang selalu ada waktu untuk bersama sahabat. Jalan hidupku masih sangat panjang, tetapi kujalani tanpa sahabat. Serasa seperti mati suri bila hidup tanpa sahabat.
Randre dan Charlie memberiku waktu 2 hari untuk menjawab pertanyaan mereka yang selama ini membuatku muak jika mengingatnya. ”Maukah kamu menjadi pacarku?” pertanyaan itu yang terus menghantuiku, seakan membuatku semakin dekat dengan kegilaan. Kini tiba hari H, sesuai permintaan mereka, aku menunggu mereka dikantin. Belum 5 menit, mereka sudah datang. Dengan wajah bimbang, aku menjawab pertanyaan mereka. “Maaf, saya tidak bisa memilih salah satu dari kalian untuk menjadi kekasihku. Karena sebenarnya, yang saya cintai adalah kalian berdua. Jadi, saya akan menawarkan pertanyaan saya yang sudah matang kepada kalian. Maukah kalian menjadi pengganti Bianca?” “Bianca, yang pernah jadi sahabat kamu itu, kan? Yang meninggal setahun yang lalu?” pertanyaanku dibalas oleh Randre dengan wajah penasaran. “Iya, apakah kalian mau?” tawarku sekali lagi. “Saya sangat bersedia menjadi pengganti Bianca. Saya akan memperlakukanmu sebaik mungkin, seperti apa yang sudah dilakukan oleh Bianca kepadamu. Tapi, apa ini bukan mimpi?” Jawab Charlie dengan lengkap agar aku dapat mempercayainya. “Bukan, ini bukan mimpi, Charlie. Ini kenyataan yang sangat kuanggap serius.” Jawabku. “Shaquinta, aku juga sangat bersedia menerima tawaranmu itu. Saya akan menjagamu, menyayangimu, dan akan selalu membagi waktuku bersamamu. Sebagai seorang sahabat, saya wajib melakukan itu!” jawaban Randre seakan meyakiniku. “Kalo begitu, mulai sekarang, kita akan jadi BFF (Best Friend Forever).” Jawabanku seakan membuat penat yang ada dihatiku seperti hilang begitu saja, kulihat wajah Randre dan Charlie seakan ada rasa kecewa yang terselip dibalik senyuman mereka.
“Kami akan berjanji, bahwa BFF yang kita jalin, akan selalu abadi hingga di liang kubur!!” Itulah semboyan kami.

By:Aknes Melani Ayustin

Senin, 28 Februari 2011

maaf ya?

maaf ya?
postingan ketiga KarTu BLOG belum bisa menerbitkan karangan tulis. saya sebagai pemilik blogger masih sibuk dengan berbagai kegiatan dari A-Z, dari Timur-Barat, Selatan-Utara, lho kok jadi lagunya WALI BAND ya?
hehehe. jadi gini, padatnya jadwal untuk menggarap tugas sekolah, menghalangi saya untuk menulis sebuah cerita. sebentar lagi, para siswa kelas 3 SMP akan mengikuti berbagi macam ujian dari seluruh mata pelajaran. otak saya terasa panas. saya selalu membayangkan, kalo aja ada mesin pendingin otak khusus pelajar, pasti bakalan saya beli. andai saja saya berbakat dibidang IPA, seluruh cara untuk membuat mesin pendingin tersebut sudah saya otak-atik sedari dulu. mungkin, kamu bisa membuatnya?

lagi gak mood mengarang, susah nyari ide!

hari ini, 28 Februari 2011 merupakan hari terakhir penilaian tugas membuat blogger pada pelajaran TINKOM. saya bingung mau nulis apa?! posting yang udah saya terbitkan baru 1 posting. sedangkan minimalnya 3 posting. waduuuh...! akhirnya saya memutuskan untuk menulis ini dan itu tentang kebingungan saya aja. hehe
lumayan kan bisa diposting :)
hmmm...
udah berapa huruf dan kata ya yang udah saya tulis? ide saya udah mampet!
cukup segini dulu aja ya? ketemu lagi dipostingan menarik lainnya ;)